Empat
belas tahun lalu, bumi Indonesia berkobar api reformasi. Reformasi yang
didengungkan dan disulut begitu menjajikan itu bahkan telah mengalungkan sebuah
kalung pahlawan reformasi. Tetapi apakah gaung reformasi itu masih terdengar
hingga sekarang, ataukah hanya gebrakan sesaat untuk menghancurkan republik
otoritarian Indonesia di bawah pimpinan sang diktator Soeharto (orde baru). Konsistensi
dalam melaksanakan reformasi dalam segala bidang termasuk pendidikan rasanya patut
dipertanyakan.
Indonesia
semakin terpuruk, meskipun ditutup oleh sebuah topeng kemajuan yang
menggambarkan Indonesia sudah lebih baik dibandingkan masa orde baru. Padahal
dibalik topeng itu ada sekian banyak daftar masalah (list problem) yang belum
terselesaikan. Lihat saja kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini, korupsi merajalela
dalam setiap elemen birokrasi dan sepertinya sudah menjadi warisan genetik yang
diturunkan oleh seorang bapak kepada anaknya. Rasa kebangsaan yang semakin
terkikis, nilai-nilai Pancasila diabaikan, tenggang rasa antar SARA (Suku, Agama
dan Ras) semakin berkurang hingga muncul pertikaian antar SARA. Rasa hormat
kepada pemimpin pun tidak ada lagi ditambah pemimpinnya korup. Muncul gerakan
separatis yang akhir-akhir ini dikabarkan jaringannya sudah mengakar di anggota
dewan dan para petinggi pemerintah, gerakan ini menamakan dirinya Negara Islam
Indonesia (NII). Tidak ketinggalan juga kasus suap yang menyelimuti para hakim
dan jaksa membuktikan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Itulah secuil
dari sederet list problem di Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi senter pemberitaan
di media masa.
Permasalahan
Indonesia sudah semakin divergen, belum lagi masalah derasnya arus globalisasi
yang mau tidak mau bangsa ini harus mengikutinya. Rasanya pun sulit bangsa
Indonesia merampungkan sederet list problem yang ada. Namun akankah kita
biarkan Indonesia semakin terpuruk dan perlahan-lahan hancur?, hancur karena
digerogoti oleh sistemnya sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Tentunya tidak,
kita sebenarnya sudah tersadar namun belum tergerak. Reformasi tiga belas tahun
lalu telah mengawali start, namun sepertinya kita belum banyak melangkah jauh
dari garis start, atau bahkan kita masih stagnan di garis start. “Lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali” itulah kata-kata yang harus kita pegang, kita
belum terlambat untuk memutar lagi roda kehidupan bangsa ini yang sepertinya sudah
melenceng jauh dari track yang diharapkan oleh the founding fathers.
Berbicara
tentang penyelesaian, tentunya kita harus mengetahui akar
permasalahan
dari semua problematika yang kita hadapi. Maka semua problematika itu berakar
pada sistem pendidikan Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa suatu negara akan
mengalami kemajuan, moral bagus dan kokoh bila pendidikan bangsanya baik.
Kata-kata itu sepertinya patut kita resapi, dan kita perlu segera bercermin dan
mengevaluasi bagaimana dengan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan
memang kunci utama untuk memperbaiki negeri ini, karena manusia-manusia
Indonesia akan menjadi manusia yang seutuhnya melalui pendidikan. Pendidikanlah
yang membentuk karakter bangsa ini. Jika sitem pendidikan Indonesia telah baik
maka produknya (sumber daya manusia) pun juga akan baik bukan melahirkan
manusia-manusia yang cerdas namun licik.
Sekarang
yang menjadi pertanyaan besar adalah sudahkah pendidikan Indonesia sudah sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945 (cita-cita bangsa Indonesia) atau malah
‘amburadul’? Indonesia harusnya belajar dari negara lain yang sudah maju lebih
dulu, mereka sangat memprioritaskan pendidikan. Sehingga negara maju pasti
berawal dari pendidikannya yang maju pula. Hal ini jelas membuktikan bahwa pendidikan
yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang mempunyai sumber daya manusia
yang unggul dan bermoral tinggi.
Menurut
pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut
Prof. Dr. N. Drijarkara, pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Pengertian
ini mengandung makna bahwa manusia yang belum mengalami proses pendidikan, maka
manusia itu belum bisa dikatakan manusia seutuhnya atau sesungguhnya. Sehingga
setiap manusia harus mendapatkan pendidikan dalam hidupnya.
Pendidikan
Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Berdasarkan
pada Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab
2 pasal 3, Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berikut
Potret Pendidikan di Indonesia yang merupakan masalah dan menjadi PRbangsa ini.
1.
Pendidikan yang Amburadul
Sejak
reformasi tahun 1998, pendidikan di Indonesia tidak mengalami banyak perbaikan,
tetapi malah banyak penyelewengan dari UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
dan Pancasila sebagai landasan idiil negara. Pendidikan merupakan salah satu
cara untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi cita-cita itu sepertinya
hanya sebatas khayalan atau sebatas kata-kata yang dibekukan dalam pembukaan
tanpa usaha dan perenanaan yang jelas.
Bangsa
ini bisa dikatakan bangsa yang plin plan, berapa kali kurikulum pendidikan diganti?,
belum juga jelas bagaimana pelaksanaan dari suatu kurikulum
tertentu,
tetapi pemerintah sudah mengganti dengan kurikulum yang baru. Ibaratnya warga
di Papua baru akan melaksanaan kurikulum baru, di Jakarta sudah ganti dengan
kurikulum yang baru lagi. Inilah yang membuat pendidikan di Indonesia terkesan
amburadul, pendidikan dilaksanakan di atas kerangka pendidikan yang arah dan
tujuannya tidak jelas. Kurikulum pendidikan hanya terkesan disusun untuk Jakarta,
daerah-daerah lain serasa tidak diperhatikan kebutuhannya lebih-lebih yang
diluar Jawa.
Pendidikan
ibaratnya sebagai alat dalam berpolitik, setiap pergantian pemimpin (dalam hal
ini adalah menteri pendidikan) maka kurikulum pun juga diganti. Sehingga pendidikan
terombang-ambing dan seolah-olah sebagai ajang pertandingan ide baru. Mereka,
para petinggi politik seakan-akan adu ide siapa yang lebih baik dalam
pembangunan pendidikan di Indonesia.
2.
Produk Pendidikan yang Gagal
Pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Pedidikan tidak
mampu membentuk karakter bangsa yang baik, pendidikan tidak mampu membentuk
manusia yang sehat secara jasmani dan rohani. Pendidikan di Indonesia belum
bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bias dijadikan teladan.
Korupsi,
kasus suap yang melibatkan hakim, gerakan separatis, kekerasan, kejahatan,
terorisme, rasa kebangsaan hilang, pertikaian SARA dan kasus ainnya, membuktikan
bahwa produk pendidikan di Indonesia gagal. Pendidikan
menciptakan
monster, bukan master.
Pendidikan
di Indonesia terkesan hanya sebatas pendidikan dilihat dari aspek kognitif,
sehingga mengagung-agungkan kecerdasan tanpa memperhatikan akhlak. Padahal
pendidikan juga harus meliputi aspek psikomotorik dan afektif. Pendidikan
seharusnya membentuk akhlak yang baik, rasa cinta tanah air, sadar budaya,
tanggung jawab, dan tenggang rasa, tetapi malah sebaliknya.
Gayus
Tambunan, Melinda De, M. Nazarudin, Nunun Nurbaiti, Jaksa Urip, Hakim
Supriyadi, Amrozi, Dr. Azhari, Nurdin M. Top, dan tokoh-tokoh lain yang beberapa
tahun terakhir ini acap kali muncul di pemberitaan yang tidak baik adalah orang-orang
yang cerdas, tetapi mereka tidak berakhlak, karakter mereka buruk sehingga
kecerdasannya bukan untuk membangun bangsa tetapi merusak bangsa.
3.
Reformasi atau Liberalisasi
Gerakan
Reformasi tahun 1998 sebenarnya telah mengagendakan tentang perbaikan sistem
pendidikan di Indonesia, agenda tersebut antara lain;
1.
Memetakan paradigma baru dalam pendidikan,
2.
Menetukan arah dan sasaran pendidikan Indonesia,
3.
Pembenahan infrastruktur guna menunjang keberhasilan proses pendidikan,
4.
Membenahi birokrasi pendidikan,
5.
Menjadikan pendidikan sebagai isu politik,
6.
Memetakan sistem desentralisasi pendidikan secara jelas dengan UU system pendidikan
yang relevan,
7.
Meningkatkan dana pendidikan,
8.
Meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan dan tenaga
kependidikan,
9.
Membenahi sistem manajemen pendidikan
nasional,
10.
Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan,
11.
Mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia.
Dari
agenda tersebut di atas, sebenarnya reformasi pendidikan bertujuan
sangat
baik dan mulia. Namun, sampai saat ini reformasi itu hanya sebuah gebrakan sesaat
saja tanpa ada konsistensi dalam upaya mewujudkannya. Sehingga sampai saat ini
masalah pendidikan tak kunjung usai.
Tetapi
ada juga yang mengatakan bahwa reformasi ini sudah dilaksanakan namun reformasi
yang kebablasan. Bukan perbaikan tetapi malah meliberalkan pendidikan. Banyak
kasus yang terjadi sehingga bisa dikatakan pendidikan Indonesia semakin
liberal, bukan adil dan merata, bukan pendidikan yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
1.
Biaya Pendidikan Semakin Mahal
Tidak
bisa dipungkiri, setiap pergantian tahun ajaran baru, sekolah-sekolah bahkan
perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menaikkan tarif baru. Bagi masyarakat
kalangan atas, hal itu mungkin bukan menjadi suatu masalah, lalu bagaimana
dengan masyarakat menengah ke bawah. Tentunya hal ini semakin memberatkan
mereka, bahkan membuat mereka untuk tidak menyekolahkan
anaknya.
Lalu bagaimana nasib bangsa ini jika rakyat kecil semakin tersisih, pendidikan bagi
mereka bisa jadi suatu barang yang mewah (tersier). Menurut berita di detik.com
yang ditulis pada tanggal 16 Desember 2010 lalu dan dikutip oleh situs hileud.com
menerangkan bahwa rata-rata siswa SD putus sekolah per tahun adalah 1,7 % dari
lebih kurang 31,05 juta siswa SD. Di Kabupaten Kediri yang jumlah lulusan SD
tahun 2010 lalu mencapai dua puluh empat ribu, sekitar 6% tidak melanjutkan ke
jenjang SMP karena keterbatasan ekonomi, hal ini seperti berita yang dirilis di
situs bonansafm.com. Sungguh memprihatinkan, pendidikan yang menurut UUD 1945
pasal 31 ayat 2 merupakan tanggung jawab negara, malah menjadi beban yang tak
kunjung ringan bagi masyarakat bawah.
Di
sinilah nampak kesan bahwa pendidikan sepertinya hanya untuk golongan tertentu
saja. Bagi yang bermodal banyaklah yang bisa mendapatkan pendidikan, sementara
masyarakat kecil semakin terpinggir.
2. Rintisan Sekolah Berbasis
Internasional
Upaya
pemerintah untuk memperbaiki pendidikan nasional salah satunya adalah dengan
membuat program Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (RSBI). Program ini
kesannya bagus, karena di era globalisasi ini pendidikan juga harus diarahkan untuk
lebih maju menuju internasionalisasi. Namun, ada yang keliru dari program ini,
karena RSBI dianggap sekolah bertarif mahal. Bahkan ada yang memplesetkan RSBI
sebagai Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Lagi-lagi program ini
menunjukkan betapa semakin liberalnya pendidikan di negara ini. Bagi masyarakat
menengah ke bawah untuk mengikuti pendidikan yang regular saja sudah susah
bahkan gali lubang tutup lubang apalagi mengikuti sekolah yang bertarif
internasional. Pemerintah pun segera menyadari akan hal itu, namun pemerintah
juga tidak berani bertindak banyak. Meskipun pemerintah menekankan pada sekolah
untuk memberi kesempatan pada siswa tidak mampu namun berprestasi masuk program
RSBI ini dengan keringanan biaya, tetapi tetap saja tidak efektif, karena ada beberapa
faktor yang menghambatnya. Diantaranya beberapa sekolah keberatan melaksanakannya,
siswa yang dari keluarga tidak mampu minder karena sebagian besar teman-teman
dalam satu kelasnya adalah anak-anak orang kaya dan sebagainya. Pemerintah
seharusnya bertindak tegas menangani masalah ini, misalnya dengan membuat
peraturan bahwa 50% dari kelas RSBI adalah siswa-siswa dari keluarga yang tidak
mampu dengan tanpa biaya atau gratis. Karena jika tidak, RSBI ini bisa dianggap
sebagai ketidak adilan dan diskriminasi pemerintah dalam dunia pendidikan. Dan
ini berarti suatu penyelewengan sila ke lima pada Pancasila.
3. Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Merupakan
model pengelolaan pendidikan yang yang memberikan otonomi atau kemandirian
Kepala Sekolah dan mendorong keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
peran komite sekolah /dewan sekolah. Model pengelolaan ini sebenarnya bertujuan
bagus dalam upaya perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.
Tujuan MBS:
.
Meningkatkan mutu pendidikan
.
Meningkatkan kepedulian masyarakat
.
Meningkatkan tanggung awab sekolah kepada masyarakat
.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar lembaga pendidikan
Manfaat MBS:
.
Sekolah dapat mengoptimalkan SDM yang tersedia
.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya
.
Keputusan Partisipatif,
.
Penggunaan P3D efisien dan efektif
.
Manajemen sekolah lebih Transparansi, akuntabilitas
.
Kompetisi sehat , mudah merespon kebutuhan masyarakat
Jika
dilihat dari tujuan dan manfaatnya program ini sungguh bagus, namun dalam praktiknya
terkadang bertolak belakang. Hal ini banyak terjadi di sekolah sekolah, MBS
sering digunakan sebagi ladang bisnis dari sekolah. Dalam MBS, biasanya komite
sekolah mengadakan rapat dengan sekolah beserta orang tua / wali murid
pada
tahun ajaran baru, lalu orang tua disodori kertas daftar kebutuhan sekolah yang
begitu banyak dan memerlukan dana yang besar. Biasanya komite berdalih jika siswa-siswi
ingin sekolah di sini dan mendapat fasilitas yang memadai maka mau tidak mau
harus menyetujui program yang disusun dalam kertas tersebut. Sungguh memprihatinkan,
seharusnya MBS menjadi suatu solusi penanganan pendidikan sekolah tetapi malah
menjadi ajang kongkalikong antara kepala sekolah dan pengurus komite.
Dari
uraian permasalahan di atas, maka perlu suatu solusi untuk menanggulangi
permasalahan-permasalahan tersebut. Karena masalah pendidikan adalah masalah
yang sangat esensial bagi bangsa ini. Pendidikan berkaitan dengan aspek
kehidupan yang lain dalam hidup berbangsa dan bernegara, maka jika pendidikan
di Indonesia sudah baik dan maju maka pembangunan nasional akan berjalan
lancar, karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Maka solusi untuk masalah tersebut adalah kita kembali ke agenda
reformasi pendidikan yang selama ini diabaikan. Melanjutkan agenda tersebut
secara bersama-sama, karena reformasi pendidikan bukan hanya tanggung jawab
pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab seluruh warga negara Indonesia yang
ingin bangsa dan negaranya menjadi lebih baik.
Akhirnya
saya menyimpukan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat
memprihatinkan, pendidikan belum banyak berperan dalam pembangunan nasional,
reformasi yang diawali pergerakkannya pada tahun 1998 belum banyak membawa
perubahan, bahkan gerakan reformasi itu terkesan hanya sebuah gebrakan sesaat.
Kembali ke jalur yang benar dengan meneruskan agenda reformasi adalah suatu
kewajiban seluruh warga negara Indonesia agar Indonesia menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar