Jumat, 02 November 2012

Dasar Revormasi Pendidikan di Indonesia



Empat belas tahun lalu, bumi Indonesia berkobar api reformasi. Reformasi yang didengungkan dan disulut begitu menjajikan itu bahkan telah mengalungkan sebuah kalung pahlawan reformasi. Tetapi apakah gaung reformasi itu masih terdengar hingga sekarang, ataukah hanya gebrakan sesaat untuk menghancurkan republik otoritarian Indonesia di bawah pimpinan sang diktator Soeharto (orde baru). Konsistensi dalam melaksanakan reformasi dalam segala bidang termasuk pendidikan rasanya patut dipertanyakan.

Indonesia semakin terpuruk, meskipun ditutup oleh sebuah topeng kemajuan yang menggambarkan Indonesia sudah lebih baik dibandingkan masa orde baru. Padahal dibalik topeng itu ada sekian banyak daftar masalah (list problem) yang belum terselesaikan. Lihat saja kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini, korupsi merajalela dalam setiap elemen birokrasi dan sepertinya sudah menjadi warisan genetik yang diturunkan oleh seorang bapak kepada anaknya. Rasa kebangsaan yang semakin terkikis, nilai-nilai Pancasila diabaikan, tenggang rasa antar SARA (Suku, Agama dan Ras) semakin berkurang hingga muncul pertikaian antar SARA. Rasa hormat kepada pemimpin pun tidak ada lagi ditambah pemimpinnya korup. Muncul gerakan separatis yang akhir-akhir ini dikabarkan jaringannya sudah mengakar di anggota dewan dan para petinggi pemerintah, gerakan ini menamakan dirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tidak ketinggalan juga kasus suap yang menyelimuti para hakim dan jaksa membuktikan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Itulah secuil dari sederet list problem di Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi senter pemberitaan di media masa.

Permasalahan Indonesia sudah semakin divergen, belum lagi masalah derasnya arus globalisasi yang mau tidak mau bangsa ini harus mengikutinya. Rasanya pun sulit bangsa Indonesia merampungkan sederet list problem yang ada. Namun akankah kita biarkan Indonesia semakin terpuruk dan perlahan-lahan hancur?, hancur karena digerogoti oleh sistemnya sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Tentunya tidak, kita sebenarnya sudah tersadar namun belum tergerak. Reformasi tiga belas tahun lalu telah mengawali start, namun sepertinya kita belum banyak melangkah jauh dari garis start, atau bahkan kita masih stagnan di garis start. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” itulah kata-kata yang harus kita pegang, kita belum terlambat untuk memutar lagi roda kehidupan bangsa ini yang sepertinya sudah melenceng jauh dari track yang diharapkan oleh the founding fathers.
Berbicara tentang penyelesaian, tentunya kita harus mengetahui akar
permasalahan dari semua problematika yang kita hadapi. Maka semua problematika itu berakar pada sistem pendidikan Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa suatu negara akan mengalami kemajuan, moral bagus dan kokoh bila pendidikan bangsanya baik. Kata-kata itu sepertinya patut kita resapi, dan kita perlu segera bercermin dan mengevaluasi bagaimana dengan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan memang kunci utama untuk memperbaiki negeri ini, karena manusia-manusia Indonesia akan menjadi manusia yang seutuhnya melalui pendidikan. Pendidikanlah yang membentuk karakter bangsa ini. Jika sitem pendidikan Indonesia telah baik maka produknya (sumber daya manusia) pun juga akan baik bukan melahirkan manusia-manusia yang cerdas namun licik.

Sekarang yang menjadi pertanyaan besar adalah sudahkah pendidikan Indonesia sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (cita-cita bangsa Indonesia) atau malah ‘amburadul’? Indonesia harusnya belajar dari negara lain yang sudah maju lebih dulu, mereka sangat memprioritaskan pendidikan. Sehingga negara maju pasti berawal dari pendidikannya yang maju pula. Hal ini jelas membuktikan bahwa pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang mempunyai sumber daya manusia yang unggul dan bermoral tinggi.

Menurut pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Prof. Dr. N. Drijarkara, pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Pengertian ini mengandung makna bahwa manusia yang belum mengalami proses pendidikan, maka manusia itu belum bisa dikatakan manusia seutuhnya atau sesungguhnya. Sehingga setiap manusia harus mendapatkan pendidikan dalam hidupnya.

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Berdasarkan pada Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab 2 pasal 3, Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berikut Potret Pendidikan di Indonesia yang merupakan masalah dan menjadi PRbangsa ini.

1. Pendidikan yang Amburadul
Sejak reformasi tahun 1998, pendidikan di Indonesia tidak mengalami banyak perbaikan, tetapi malah banyak penyelewengan dari UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagai landasan idiil negara. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi cita-cita itu sepertinya hanya sebatas khayalan atau sebatas kata-kata yang dibekukan dalam pembukaan tanpa usaha dan perenanaan yang jelas.
Bangsa ini bisa dikatakan bangsa yang plin plan, berapa kali kurikulum pendidikan diganti?, belum juga jelas bagaimana pelaksanaan dari suatu kurikulum
tertentu, tetapi pemerintah sudah mengganti dengan kurikulum yang baru. Ibaratnya warga di Papua baru akan melaksanaan kurikulum baru, di Jakarta sudah ganti dengan kurikulum yang baru lagi. Inilah yang membuat pendidikan di Indonesia terkesan amburadul, pendidikan dilaksanakan di atas kerangka pendidikan yang arah dan tujuannya tidak jelas. Kurikulum pendidikan hanya terkesan disusun untuk Jakarta, daerah-daerah lain serasa tidak diperhatikan kebutuhannya lebih-lebih yang diluar Jawa.

Pendidikan ibaratnya sebagai alat dalam berpolitik, setiap pergantian pemimpin (dalam hal ini adalah menteri pendidikan) maka kurikulum pun juga diganti. Sehingga pendidikan terombang-ambing dan seolah-olah sebagai ajang pertandingan ide baru. Mereka, para petinggi politik seakan-akan adu ide siapa yang lebih baik dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.

2. Produk Pendidikan yang Gagal
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Pedidikan tidak mampu membentuk karakter bangsa yang baik, pendidikan tidak mampu membentuk manusia yang sehat secara jasmani dan rohani. Pendidikan di Indonesia belum bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bias dijadikan teladan.

Korupsi, kasus suap yang melibatkan hakim, gerakan separatis, kekerasan, kejahatan, terorisme, rasa kebangsaan hilang, pertikaian SARA dan kasus ainnya, membuktikan bahwa produk pendidikan di Indonesia gagal. Pendidikan
menciptakan monster, bukan master.

Pendidikan di Indonesia terkesan hanya sebatas pendidikan dilihat dari aspek kognitif, sehingga mengagung-agungkan kecerdasan tanpa memperhatikan akhlak. Padahal pendidikan juga harus meliputi aspek psikomotorik dan afektif. Pendidikan seharusnya membentuk akhlak yang baik, rasa cinta tanah air, sadar budaya, tanggung jawab, dan tenggang rasa, tetapi malah sebaliknya.

Gayus Tambunan, Melinda De, M. Nazarudin, Nunun Nurbaiti, Jaksa Urip, Hakim Supriyadi, Amrozi, Dr. Azhari, Nurdin M. Top, dan tokoh-tokoh lain yang beberapa tahun terakhir ini acap kali muncul di pemberitaan yang tidak baik adalah orang-orang yang cerdas, tetapi mereka tidak berakhlak, karakter mereka buruk sehingga kecerdasannya bukan untuk membangun bangsa tetapi merusak bangsa.

3. Reformasi atau Liberalisasi
Gerakan Reformasi tahun 1998 sebenarnya telah mengagendakan tentang perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, agenda tersebut antara lain;

1. Memetakan paradigma baru dalam pendidikan,
2. Menetukan arah dan sasaran pendidikan Indonesia,
3. Pembenahan infrastruktur guna menunjang keberhasilan proses pendidikan,
4. Membenahi birokrasi pendidikan,
5. Menjadikan pendidikan sebagai isu politik,
6. Memetakan sistem desentralisasi pendidikan secara jelas dengan UU system pendidikan yang relevan,
7. Meningkatkan dana pendidikan,
8. Meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan dan tenaga kependidikan,
9.  Membenahi sistem manajemen pendidikan nasional,
10. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan,
11. Mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Dari agenda tersebut di atas, sebenarnya reformasi pendidikan bertujuan
sangat baik dan mulia. Namun, sampai saat ini reformasi itu hanya sebuah gebrakan sesaat saja tanpa ada konsistensi dalam upaya mewujudkannya. Sehingga sampai saat ini masalah pendidikan tak kunjung usai.

Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa reformasi ini sudah dilaksanakan namun reformasi yang kebablasan. Bukan perbaikan tetapi malah meliberalkan pendidikan. Banyak kasus yang terjadi sehingga bisa dikatakan pendidikan Indonesia semakin liberal, bukan adil dan merata, bukan pendidikan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

1. Biaya Pendidikan Semakin Mahal
Tidak bisa dipungkiri, setiap pergantian tahun ajaran baru, sekolah-sekolah bahkan perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menaikkan tarif baru. Bagi masyarakat kalangan atas, hal itu mungkin bukan menjadi suatu masalah, lalu bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah. Tentunya hal ini semakin memberatkan mereka, bahkan membuat mereka untuk tidak menyekolahkan
anaknya. Lalu bagaimana nasib bangsa ini jika rakyat kecil semakin tersisih, pendidikan bagi mereka bisa jadi suatu barang yang mewah (tersier). Menurut berita di detik.com yang ditulis pada tanggal 16 Desember 2010 lalu dan dikutip oleh situs hileud.com menerangkan bahwa rata-rata siswa SD putus sekolah per tahun adalah 1,7 % dari lebih kurang 31,05 juta siswa SD. Di Kabupaten Kediri yang jumlah lulusan SD tahun 2010 lalu mencapai dua puluh empat ribu, sekitar 6% tidak melanjutkan ke jenjang SMP karena keterbatasan ekonomi, hal ini seperti berita yang dirilis di situs bonansafm.com. Sungguh memprihatinkan, pendidikan yang menurut UUD 1945 pasal 31 ayat 2 merupakan tanggung jawab negara, malah menjadi beban yang tak kunjung ringan bagi masyarakat bawah.

Di sinilah nampak kesan bahwa pendidikan sepertinya hanya untuk golongan tertentu saja. Bagi yang bermodal banyaklah yang bisa mendapatkan pendidikan, sementara masyarakat kecil semakin terpinggir.

2. Rintisan Sekolah Berbasis Internasional
Upaya pemerintah untuk memperbaiki pendidikan nasional salah satunya adalah dengan membuat program Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (RSBI). Program ini kesannya bagus, karena di era globalisasi ini pendidikan juga harus diarahkan untuk lebih maju menuju internasionalisasi. Namun, ada yang keliru dari program ini, karena RSBI dianggap sekolah bertarif mahal. Bahkan ada yang memplesetkan RSBI sebagai Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Lagi-lagi program ini menunjukkan betapa semakin liberalnya pendidikan di negara ini. Bagi masyarakat menengah ke bawah untuk mengikuti pendidikan yang regular saja sudah susah bahkan gali lubang tutup lubang apalagi mengikuti sekolah yang bertarif internasional. Pemerintah pun segera menyadari akan hal itu, namun pemerintah juga tidak berani bertindak banyak. Meskipun pemerintah menekankan pada sekolah untuk memberi kesempatan pada siswa tidak mampu namun berprestasi masuk program RSBI ini dengan keringanan biaya, tetapi tetap saja tidak efektif, karena ada beberapa faktor yang menghambatnya. Diantaranya beberapa sekolah keberatan melaksanakannya, siswa yang dari keluarga tidak mampu minder karena sebagian besar teman-teman dalam satu kelasnya adalah anak-anak orang kaya dan sebagainya. Pemerintah seharusnya bertindak tegas menangani masalah ini, misalnya dengan membuat peraturan bahwa 50% dari kelas RSBI adalah siswa-siswa dari keluarga yang tidak mampu dengan tanpa biaya atau gratis. Karena jika tidak, RSBI ini bisa dianggap sebagai ketidak adilan dan diskriminasi pemerintah dalam dunia pendidikan. Dan ini berarti suatu penyelewengan sila ke lima pada Pancasila.


3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Merupakan model pengelolaan pendidikan yang yang memberikan otonomi atau kemandirian Kepala Sekolah dan mendorong keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung peran komite sekolah /dewan sekolah. Model pengelolaan ini sebenarnya bertujuan bagus dalam upaya perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.
Tujuan MBS:
. Meningkatkan mutu pendidikan
. Meningkatkan kepedulian masyarakat
. Meningkatkan tanggung awab sekolah kepada masyarakat
. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar lembaga pendidikan
Manfaat MBS:
. Sekolah dapat mengoptimalkan SDM yang tersedia
. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya
. Keputusan Partisipatif,
. Penggunaan P3D efisien dan efektif
. Manajemen sekolah lebih Transparansi, akuntabilitas
. Kompetisi sehat , mudah merespon kebutuhan masyarakat

Jika dilihat dari tujuan dan manfaatnya program ini sungguh bagus, namun dalam praktiknya terkadang bertolak belakang. Hal ini banyak terjadi di sekolah sekolah, MBS sering digunakan sebagi ladang bisnis dari sekolah. Dalam MBS, biasanya komite sekolah mengadakan rapat dengan sekolah beserta orang tua / wali murid
pada tahun ajaran baru, lalu orang tua disodori kertas daftar kebutuhan sekolah yang begitu banyak dan memerlukan dana yang besar. Biasanya komite berdalih jika siswa-siswi ingin sekolah di sini dan mendapat fasilitas yang memadai maka mau tidak mau harus menyetujui program yang disusun dalam kertas tersebut. Sungguh memprihatinkan, seharusnya MBS menjadi suatu solusi penanganan pendidikan sekolah tetapi malah menjadi ajang kongkalikong antara kepala sekolah dan pengurus komite.

Dari uraian permasalahan di atas, maka perlu suatu solusi untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan tersebut. Karena masalah pendidikan adalah masalah yang sangat esensial bagi bangsa ini. Pendidikan berkaitan dengan aspek kehidupan yang lain dalam hidup berbangsa dan bernegara, maka jika pendidikan di Indonesia sudah baik dan maju maka pembangunan nasional akan berjalan lancar, karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Maka solusi untuk masalah tersebut adalah kita kembali ke agenda reformasi pendidikan yang selama ini diabaikan. Melanjutkan agenda tersebut secara bersama-sama, karena reformasi pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab seluruh warga negara Indonesia yang ingin bangsa dan negaranya menjadi lebih baik.

Akhirnya saya menyimpukan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, pendidikan belum banyak berperan dalam pembangunan nasional, reformasi yang diawali pergerakkannya pada tahun 1998 belum banyak membawa perubahan, bahkan gerakan reformasi itu terkesan hanya sebuah gebrakan sesaat. Kembali ke jalur yang benar dengan meneruskan agenda reformasi adalah suatu kewajiban seluruh warga negara Indonesia agar Indonesia menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar